Indonesia, negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, atau bahkan lebih cepat. Target ambisius ini membuka peluang besar di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT), meski diiringi berbagai tantangan yang menuntut strategi komprehensif dan kolaborasi multipihak.
Komitmen dan Potensi Energi Terbarukan Indonesia
Visi NZE 2060 merupakan bagian integral dari upaya global Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Komitmen ini didukung kerangka kebijakan progresif, termasuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement serta Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 mengenai Percepatan Pengembangan EBT untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Target ini menegaskan keseriusan Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan beralih ke sumber energi bersih. Pemerintah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi nasional mencapai 23% pada 2025 dan meningkat menjadi 100% pada 2060. Pencapaian target ambisius ini memerlukan investasi signifikan, inovasi teknologi, dan reformasi kebijakan berkelanjutan.
Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sangat melimpah, meliputi energi surya, angin, panas bumi, hidro, dan biomassa. Sumber daya ini dapat menjadi pilar utama transisi energi nasional.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi EBT Indonesia mencapai sekitar 3.600 GW, namun pemanfaatannya baru sekitar 0,5% atau 11,5 GW. Kesenjangan antara potensi dan realisasi ini sangat besar. Sebagai contoh, potensi energi surya mencapai 207 GW, tetapi baru 270 MW yang dimanfaatkan.
Demikian pula, potensi panas bumi sebesar 28 GW baru termanfaatkan 2,3 GW; hidro dari 75 GW baru 6,8 GW; dan angin dari 150 GW baru 154,3 MW. Optimalisasi pemanfaatan potensi ini krusial bagi keberhasilan NZE 2060.
Tantangan dan Strategi Percepatan Transisi Energi
Meskipun potensi EBT di Indonesia sangat besar, sejumlah tantangan signifikan masih menghambat pengembangannya. Tantangan tersebut antara lain:
- Pendanaan dan Investasi: Pengembangan EBT membutuhkan investasi awal yang besar. Skema pendanaan yang kurang menarik bagi investor serta risiko investasi tinggi menjadi penghalang utama.
- Infrastruktur: Ketersediaan infrastruktur transmisi dan distribusi yang memadai untuk mengintegrasikan EBT ke sistem kelistrikan nasional masih terbatas, terutama karena banyak potensi EBT berada di lokasi terpencil.
- Regulasi dan Kebijakan: Implementasi dan konsistensi kebijakan perlu ditingkatkan. Peraturan yang belum final, seperti harga pembelian listrik EBT yang belum kompetitif, kerap menghambat proyek.
- Teknologi dan SDM: Ketersediaan teknologi canggih dan sumber daya manusia terampil di bidang EBT masih perlu diperkuat. Adopsi teknologi baru memerlukan dukungan riset dan pengembangan intensif.
- Persaingan dengan Energi Fosil: Harga energi fosil yang relatif murah menjadikan EBT kurang kompetitif, terutama tanpa insentif memadai.
Di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar yang dapat dimanfaatkan melalui strategi yang tepat. Beberapa di antaranya meliputi:
- Dukungan Kebijakan Afirmatif: Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang lebih kondusif, termasuk insentif fiskal dan non-fiskal, serta skema harga menarik bagi investor EBT.
- Peningkatan Kapasitas Infrastruktur: Investasi dalam pembangunan jaringan transmisi cerdas dan penyimpanan energi (baterai) penting untuk mengintegrasikan EBT yang intermiten.
- Kerja Sama Internasional: Kolaborasi dengan negara maju dan lembaga keuangan internasional dapat membuka akses ke teknologi, pendanaan, dan keahlian, seperti melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP).
- Pemberdayaan Industri Lokal: Mendorong manufaktur komponen EBT di dalam negeri dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketergantungan impor.
- Edukasi dan Kesadaran Publik: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang transisi energi dan manfaat EBT akan mendukung keberlanjutan program ini.
Beberapa daerah di Indonesia telah menunjukkan kemajuan berarti dalam pengembangan EBT. Contohnya adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di berbagai sungai besar, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Jawa Barat dan Sumatra Utara, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung yang mulai dibangun. Studi menunjukkan, daerah dengan dukungan pemerintah daerah yang kuat dan partisipasi masyarakat aktif cenderung lebih berhasil dalam proyek EBT. Model keberhasilan ini dapat direplikasi di wilayah lain.
Transisi energi menuju NZE 2060 tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga membawa keuntungan ekonomi dan sosial. Dampak positif ini mencakup penciptaan lapangan kerja baru di sektor EBT, peningkatan kemandirian energi, dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil.
Selain itu, akses energi yang lebih merata, terutama di daerah terpencil, dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Sebuah studi dari IRENA (International Renewable Energy Agency) menunjukkan bahwa setiap 1 juta dolar AS yang diinvestasikan dalam EBT dapat menciptakan 75 lapangan kerja, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan sektor energi fosil.
“Transisi energi adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak hanya bicara tentang emisi, tetapi juga tentang keadilan energi, kemandirian bangsa, dan masa depan anak cucu kita.”
— Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM
- Indonesia berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060, didukung kerangka kebijakan dan target porsi EBT dalam bauran energi nasional.
- Negara ini memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) melimpah dari surya, angin, panas bumi, hidro, hingga biomassa, namun pemanfaatannya masih minimal.
- Pengembangan EBT menghadapi tantangan utama seperti pendanaan, ketersediaan infrastruktur, konsistensi regulasi, teknologi, SDM, dan persaingan dengan energi fosil.
- Peluang percepatan transisi energi dapat dimanfaatkan melalui kebijakan afirmatif, peningkatan infrastruktur, kerja sama internasional, pemberdayaan industri lokal, dan edukasi publik.
- Transisi energi diharapkan membawa dampak positif ekonomi dan sosial, termasuk penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan kemandirian energi, dan pemerataan akses energi.